Hidup di Era Overinformasi: Saat Kita Tahu Segalanya Tapi Mengerti Sedikit

Kita hidup di zaman yang luar biasa. Dalam satu genggaman, kita bisa tahu apa yang sedang terjadi di Gaza, cuaca di Tokyo, tren TikTok terbaru, hingga teori fisika kuantum yang belum tentu kita pahami. Informasi mengalir deras, tanpa henti, tanpa ampun. Tapi menariknya, di tengah banjir data ini, justru makin banyak orang merasa bingung, cemas, bahkan kehilangan arah.
Jujur saja, kadang kita merasa tahu banyak hal, padahal yang kita punya cuma potongan-potongan kecil dari puzzle besar yang belum tentu kita susun dengan benar. Kita membaca judul berita, melihat potongan video, menyimak komentar orang lain—lalu merasa sudah cukup tahu untuk berpendapat. Tapi apakah kita benar-benar mengerti?
Informasi Bukan Lagi Masalah Kelangkaan, Tapi Kelebihan
Dulu, masalah utama manusia adalah keterbatasan informasi. Buku mahal, akses terbatas, dan pengetahuan hanya dimiliki segelintir orang. Sekarang, masalahnya justru sebaliknya: terlalu banyak informasi, terlalu cepat, terlalu bising. Kita tidak kekurangan data—kita kekurangan waktu, perhatian, dan kemampuan memilah.
Yang sering luput kita sadari, otak manusia tidak didesain untuk menyerap ratusan input dalam sehari. Kita bukan mesin pencari. Kita butuh waktu untuk mencerna, mempertanyakan, dan memahami. Tapi algoritma media sosial tidak peduli soal itu. Ia hanya ingin kita terus menggulir layar, terus terpaku, terus terpapar.
Efek Samping yang Diam-diam Menggerogoti
Overinformasi bukan cuma bikin kita lelah. Ia juga mengikis kemampuan kita untuk berpikir mendalam. Kita jadi terbiasa dengan jawaban instan, malas membaca panjang, dan cepat menyimpulkan. Akibatnya?
- Kita mudah terjebak dalam bias konfirmasi—hanya mencari informasi yang menguatkan pendapat kita.
- Kita makin sulit membedakan mana fakta, mana opini, mana manipulasi.
- Kita kehilangan rasa ingin tahu yang tulus, karena merasa sudah tahu segalanya.
Di sisi lain, ada juga efek psikologis yang tidak kalah serius. Doomscrolling—kebiasaan terus-menerus mengonsumsi berita buruk—bisa memicu kecemasan kronis. Kita merasa dunia makin kacau, padahal mungkin yang kacau adalah cara kita mengonsumsi dunia.
Apakah Solusinya Detoks Digital?
Banyak orang menyarankan detoks digital. Matikan notifikasi, hapus aplikasi, ambil jeda dari layar. Itu langkah awal yang bagus. Tapi menurutku, masalahnya lebih dalam dari sekadar “terlalu sering main HP”. Ini soal bagaimana kita memaknai informasi, bukan hanya seberapa sering kita mengaksesnya.
Kita perlu membangun literasi informasi. Bukan cuma tahu cara mencari, tapi juga cara menyaring, memahami konteks, dan mengakui bahwa tidak semua hal harus kita komentari. Kadang, diam dan merenung jauh lebih bijak daripada ikut-ikutan bicara.
Belajar Menjadi Manusia yang Penuh Kesadaran
Menariknya, di tengah hiruk-pikuk digital ini, justru muncul kerinduan akan keheningan. Banyak orang mulai kembali ke buku fisik, menulis jurnal, atau sekadar berjalan tanpa membawa ponsel. Ada semacam kebutuhan untuk kembali menjadi manusia yang utuh—bukan sekadar konsumen konten.
Mungkin ini saatnya kita belajar menjadi manusia yang lebih sadar. Sadar bahwa tidak semua hal harus diketahui. Sadar bahwa kecepatan bukan segalanya. Sadar bahwa memahami lebih penting daripada sekadar mengetahui.
Beberapa Kebiasaan Kecil yang Bisa Membantu
Kalau kamu merasa kewalahan dengan informasi, coba beberapa hal ini. Tidak harus semuanya, cukup satu-dua yang terasa cocok:
- Mulai hari tanpa membuka ponsel selama satu jam pertama.
- Batasi konsumsi berita hanya dari satu atau dua sumber terpercaya.
- Luangkan waktu membaca buku atau artikel panjang setiap minggu.
- Biasakan bertanya: “Apakah ini penting untukku saat ini?” sebelum mengklik sesuatu.
- Berani berkata: “Aku belum tahu cukup untuk berpendapat soal ini.”
Kedengarannya sederhana, tapi dampaknya bisa besar. Kita jadi lebih tenang, lebih fokus, dan lebih manusiawi.
Penutup: Menjadi Bijak di Tengah Bisingnya Dunia
Dunia tidak akan berhenti memproduksi informasi. Teknologi akan terus berkembang, algoritma akan makin canggih, dan arus data akan makin deras. Tapi kita punya pilihan: apakah kita mau terus hanyut, atau belajar berenang dengan sadar?
Di era overinformasi ini, kebijaksanaan bukan soal tahu banyak hal. Tapi soal tahu mana yang layak diperhatikan, mana yang bisa dilewatkan, dan kapan saatnya berhenti sejenak untuk benar-benar memahami.
Karena pada akhirnya, yang membuat kita manusia bukan seberapa cepat kita tahu, tapi seberapa dalam kita mengerti.